KITA SEMUA pasti punya Ibu. Banyak cerita anaknya tentang ibu. Kali ini saya juga ingin bicara tentang ibu. Ibu saya seminggu ini mengunjungi saya, anaknya. Dari kampung ibu naik mobil bareng tetangga-tetangganya yang jual nasi di dekat Pasar Gembong Balaraja, Banten. Singkat cerita ibu saya jemput, dan saya bawa ke rumah saya di Cimanggis DEPOK. Kunjungan ibu ini adalah kali ketiga beliau ke rumah saya.
Karena saya kerjanya full dari senin sampai sabtu, baru hari minggu saja saya bisa bawa ibu, bareng istri, jalan-jalan. Lokasi pertama kunjungan ke Mesjid Kubah Emas Cinere DEPOK. Di sepanjang perjalanan kami berkisah tentang hal-hal yang menyenagkan hati beliau. Tak terasa sudah sampai di pintu masuk Mesjid. Jarak 15 km dari Cimanggis tak membuat kami capek, namun demi membuat fresh, rombongan kami istirahat dulu di pavilyun sebelah Mesjid.
Karena hari Minggu, pengunjungnya banyak, bis-bis datang dari Cianjur, Sukabumi, bahkan dari Surabaya. Cerita tentang kubah "emas"-nya itu yang menarik perhatian pengunjung. Semoga saja pengunjung nggak hanya pengen lihat emas, karena di toko emas Koh Aceng di setiap kota di Indonesia ada. Namun bila pengen lihat kubah emas lalu bersyukur pada Allah melihat kebaikan yang mendisain dan keikhlasan yang membiayai-nya, maka setidaknya ada nilai lain yang bisa dibawa pulang.
Rombongan kami terdiri dari saya, istri, ibu, Mbak Ndari (Wulandari) dan anaknya Apin(Mbak Ndari adalah khadimat dirumah kami). Karena Mbak Ndari sedang tidak sholat, kami tinggalkan dia bareng Apin, lalu kami menuju mesjid untuk sholat dhuhur. Ibu bareng istri mengambil posisi di belakang barisan jemaah laki-laki. Saya sudah sering datang untuk tugas sebagai guide: mertua, kakak ipar, adik ipar, paman dan sekarang ibu saya.
Saya berharap ibu bisa mensyukuri nikmat mata melihat keindahan mesjid kubah emas ini dari dekat. Makin dekat pada Allah dan ikhlas pada pemberianNya.
Kunjungan pada hari Minggu seperti itu banyak hal menggangu, yang seharusnya dibereskan oleh manajemen mesjid kubah emas. Diantaranya tukang jepret alias mat kodak keliling yang kehadirannya bukan membantu malah nge-ruwetin jemaah. Kehadiran tukang parkir liar, walau berseragam, namun kayak suasana pasar. Waktu masuk dipungut 3 ribu, lalu diparkiran kalau mau keluar diminta lagi, terus mau keluar gerbang utama diminta lagi 1000. Idiihh.! Kesan semrawut ini sangat mengganggu. Semoga ke depan akal-akalan orang luar nyari rejeki (jadi tukang parkir, mat kodak dll) di mesjid kubah emas akan segera berakhir. Kalau tidak maka ketakjuban kita sebagai umat muslim melihat mesjid kubah emas akan sama dengan melihat Borobudur saja. Oohh...hebat ya, bangsa kita dulu. Gitu aja! Tidak ada kekaguman yang penuh kesyukuran pada Allah, tidak ada rindu karena Allah yang memikat hati para pengunjung, dan yang paling menyedihkan, wisata rohani Mesjid Kubah Emas malah bikin hati sewot, ketemu kesemrawutan jalan dan keruwetan juru parkir itu.
Pendek kata setelah nyampe rumah, "...Le, enak yo di Mesjid kubah emas", kata Ibu. Ibu pengen kerja jadi tukang sapu di sana..."
Aduh. Ibu-ibu. Saya tahu Ibu. Dia ingin menghabiskan masa tuanya deket dengan mesjid, apalagi kubah emas. Dia ingin bermunajat untuk anak-anaknya, dia ingin berdoa yang panjang untuk dikirim ke orangtuanya. Dia masih ingin berlama-lama dengan Allah.
Ah, Ibu. Airmatamu adalah rohku yang menangis. Doamu adalah jalan hidupku dan pengorbananmu adalah warisan kehormatan yang harus ditegakkan.
Ke Jakarta yang pertama, ibu ngajak saya jalan kaki dari Bunderan HI lewat Thamrin ke Monas dan berakhir di Istiqlal. Bayangin, sodara.
Kunjungan kedua Ibu ke Jakarta, waktu itu bareng cucunya, Ibu ngajak ke Taman Mini juga jalan kaki sampe keluar pulang.
Dan kini pengen jadi tukang sapu Mesjid! Ah, Ibu-ibu..........
Komentar
Posting Komentar
Kalo Anda pengen diskusi lebih komprehensip, kirim ke email ini : sismulyanto@gmail.com