SEBAGAI suami, tugas harianku di rumah adalah membuang sampah tiap bakda isya. Itu biasa kulakukan disamping membantu meringankan tugas istri juga agar malam hari rumah kami nggak kemasukan tikus. Kebayang dong, kalo ada sisa sampah numpuk di dapur malam-malam. Pasti "Si Tio" ini akan pesta pora bareng geng-nya semalam suntuk. Itu sebabnya, biar gerimis, biar penat, biar apa aja pasti kusempatkan diri untuk buang sampah. Lagian lokasinya nggak jauh dari rumahku. Paling 10 meter di muka rumah.
Minggu malam ( 2/11/08) kemarin, selepas bakda isya biasa aku buang sampah. Takl seperti biasa di situ ada anak muda penjual roti keliling lagi asyik mbenerin letak mantel plastiknya. Tuh mantel bukan mantel kali, tapi lebih pas disebut plastik tipis warna putih transparan yang anda semua pasti tahulah, itu biasa dipake untuk buntel krupuk. Tapi untuk "calon entrepreneur" ini, plastik tsb dipake untuk fungsi mantel. Padahal jelas dia bukan krupuk, kan? Hehehe...
Sambil meletakkan sampah ditempah samapah, aku lempar senyuman. "Hujan-hujan, Mas..." ,sapaku berbasa-basi.
Yang mengejutkanku, dia balas tersenyum. Dan senyum itu mengingatkanku pada sebuah senyuman yang paling kukenal, yaitu senyumku sendiri. Di malam yang gelap, dingin, hujan dan sepi. Ada laki-laki muda sedang berjualan roti keliling, masih banyak sisa dan hujan makin deras. Itu adalah aku sendiri.
Aku inget tahun 1993-1994, waktu masih kuliah di Banjarbaru Kalimantan Selatan. Thesis masih belum kelar, tapi duit untuk penelitian masih nggak lancar, maklum ortu cuma kopral yang pasti nggak banyak uang lebih, so aku harus muter otak supaya penelitian cepat kelar dan thesis jadi tahun ini.
Sehingga aku bareng kawan Zain Noktah, waktu itu dia udah lulus dari Fakultas Pertanian Unlam Banjarbaru bersama dagang burger. Om Zain yang jadi investor dan aku yang julan burger. Gerobak udah dipesan, namun sayang setelah gerobak jadi, konsep dagang berubah pengen dagang bakso. Cilaka.
Bagaimana mengubah bentuk gerobaknya?
Laguan aku hanyalah mahasiswa yang hanya modal nekat tapi minim jaringan pertemanan. Bolak-balik gerobak itu kujajal "mejeng" di depan Munggu Raya, tempat paling favorit di Banjarbaru. Jelas aku nggak mau bawa gerobak siang. Malu!
Jadi kubawalah gerobak malam-malam. Sekitar jam 11 malam aku sendirian mulai bergerak dari rumah di belakang markas lantas Banajrbaru memotong jalan lewat Jl. Wijayakusuma ke kiri masuk lapangan Murjani dan nongkrong di depan Munggu Raya. Setelah 30 menit kurasa udah oke, gerobak kubawa balik. Eh, hujan tiba-tiba menyergap. Ya udah. Saat jalan mendaki karena gerobaknya berukuran panjang, doronganku makin lemah dan aku terpeleset. Untung masih bisa kukuasai biar nggak jatuh. Dengan jalan licin dan badan basah kuyup, akhirnya gerobak burger yg belum sempat di renovasi jadi gerobak bakso, sukses kubawa balik. Di tengah jalan aku hanya bisa tersenyum dan besholawat pada Nabi, betapa berat hidup yang mauku hanya nyari sedikit rejeki untuk tambahan ongkos riset.
Aku biasa menghadapi banyak kesulitan seperti orang lain. Tapi yang membedakanku dengan orang mungkin bila aku dapat cobaan berat seperti itu, aku menghadapinya dengan tersenyum, persis seperti senyum tukang roti menghadapi hujan dengan sepeda bergerobaknya.
Aku dulu juga tersenyum. Ya Allah inikah jalan yang engkau sediakan bagiku, mahluk yang hanya pengen sedikit rejeki agar bisa meringankan ortunya, biar risetnya lancar dan punya sedikit pengalaman mandiri. Biasanya kalao aku berdoa seperti itu hujan makin lebat dan aku makin bersemangat. Aku merasa kecil dan doaku tertelan malam dan derasnya hujan.
Ah, itu sudah 15 tahun lalu. Kini Si Mas penjual roti keliling itu mengingatkanku pada situasi yang sama.
Ya Allah beri dia yang muda semangat untuk tidak menyerah menelusuri jalan rejekinya. Kuatkan hatinya disaat lemah. Dan bawakalah dia pada keikhlasan untuk berkorban dan bertirakat dengan ridhoMu. Karena dia tidak tau ujung dari perjalanannya sendiri. Ingatkan sholat dengan panggilan adzanMu, biar dalam kesulitannya, ia tidak belok ke jalan yang gelap, tandus, kering dalam labirin waktu.
Ya Allah, berkahilah pemuda-pemuda yang meninggalkan kampungnya untuk tujuan mulia. Seperti Engkau gerakkan Siti Hajar mencari air bagi si mungil Ismail, atau Engkau gerakkan semua manusia dikala pagi untuk melata, menyusuri sisi keagunganMu mencari rejeki.
Ya Allah berkahilah apa yang kami dapat, yang kami makan agar anak cucu kami tidak mewarisi kekotoran cara mendapatkan rejeki, dan bersihkanlah hati mereka , masa depan mereka dengan kasih sayangMu.
Minggu malam ( 2/11/08) kemarin, selepas bakda isya biasa aku buang sampah. Takl seperti biasa di situ ada anak muda penjual roti keliling lagi asyik mbenerin letak mantel plastiknya. Tuh mantel bukan mantel kali, tapi lebih pas disebut plastik tipis warna putih transparan yang anda semua pasti tahulah, itu biasa dipake untuk buntel krupuk. Tapi untuk "calon entrepreneur" ini, plastik tsb dipake untuk fungsi mantel. Padahal jelas dia bukan krupuk, kan? Hehehe...
Sambil meletakkan sampah ditempah samapah, aku lempar senyuman. "Hujan-hujan, Mas..." ,sapaku berbasa-basi.
Yang mengejutkanku, dia balas tersenyum. Dan senyum itu mengingatkanku pada sebuah senyuman yang paling kukenal, yaitu senyumku sendiri. Di malam yang gelap, dingin, hujan dan sepi. Ada laki-laki muda sedang berjualan roti keliling, masih banyak sisa dan hujan makin deras. Itu adalah aku sendiri.
Aku inget tahun 1993-1994, waktu masih kuliah di Banjarbaru Kalimantan Selatan. Thesis masih belum kelar, tapi duit untuk penelitian masih nggak lancar, maklum ortu cuma kopral yang pasti nggak banyak uang lebih, so aku harus muter otak supaya penelitian cepat kelar dan thesis jadi tahun ini.
Sehingga aku bareng kawan Zain Noktah, waktu itu dia udah lulus dari Fakultas Pertanian Unlam Banjarbaru bersama dagang burger. Om Zain yang jadi investor dan aku yang julan burger. Gerobak udah dipesan, namun sayang setelah gerobak jadi, konsep dagang berubah pengen dagang bakso. Cilaka.
Bagaimana mengubah bentuk gerobaknya?
Laguan aku hanyalah mahasiswa yang hanya modal nekat tapi minim jaringan pertemanan. Bolak-balik gerobak itu kujajal "mejeng" di depan Munggu Raya, tempat paling favorit di Banjarbaru. Jelas aku nggak mau bawa gerobak siang. Malu!
Jadi kubawalah gerobak malam-malam. Sekitar jam 11 malam aku sendirian mulai bergerak dari rumah di belakang markas lantas Banajrbaru memotong jalan lewat Jl. Wijayakusuma ke kiri masuk lapangan Murjani dan nongkrong di depan Munggu Raya. Setelah 30 menit kurasa udah oke, gerobak kubawa balik. Eh, hujan tiba-tiba menyergap. Ya udah. Saat jalan mendaki karena gerobaknya berukuran panjang, doronganku makin lemah dan aku terpeleset. Untung masih bisa kukuasai biar nggak jatuh. Dengan jalan licin dan badan basah kuyup, akhirnya gerobak burger yg belum sempat di renovasi jadi gerobak bakso, sukses kubawa balik. Di tengah jalan aku hanya bisa tersenyum dan besholawat pada Nabi, betapa berat hidup yang mauku hanya nyari sedikit rejeki untuk tambahan ongkos riset.
Aku biasa menghadapi banyak kesulitan seperti orang lain. Tapi yang membedakanku dengan orang mungkin bila aku dapat cobaan berat seperti itu, aku menghadapinya dengan tersenyum, persis seperti senyum tukang roti menghadapi hujan dengan sepeda bergerobaknya.
Aku dulu juga tersenyum. Ya Allah inikah jalan yang engkau sediakan bagiku, mahluk yang hanya pengen sedikit rejeki agar bisa meringankan ortunya, biar risetnya lancar dan punya sedikit pengalaman mandiri. Biasanya kalao aku berdoa seperti itu hujan makin lebat dan aku makin bersemangat. Aku merasa kecil dan doaku tertelan malam dan derasnya hujan.
Ah, itu sudah 15 tahun lalu. Kini Si Mas penjual roti keliling itu mengingatkanku pada situasi yang sama.
Ya Allah beri dia yang muda semangat untuk tidak menyerah menelusuri jalan rejekinya. Kuatkan hatinya disaat lemah. Dan bawakalah dia pada keikhlasan untuk berkorban dan bertirakat dengan ridhoMu. Karena dia tidak tau ujung dari perjalanannya sendiri. Ingatkan sholat dengan panggilan adzanMu, biar dalam kesulitannya, ia tidak belok ke jalan yang gelap, tandus, kering dalam labirin waktu.
Ya Allah, berkahilah pemuda-pemuda yang meninggalkan kampungnya untuk tujuan mulia. Seperti Engkau gerakkan Siti Hajar mencari air bagi si mungil Ismail, atau Engkau gerakkan semua manusia dikala pagi untuk melata, menyusuri sisi keagunganMu mencari rejeki.
Ya Allah berkahilah apa yang kami dapat, yang kami makan agar anak cucu kami tidak mewarisi kekotoran cara mendapatkan rejeki, dan bersihkanlah hati mereka , masa depan mereka dengan kasih sayangMu.
Salut buat bos yang satu ini, pengalaman hidupnya mengingatkan saya pada seseorang yang paling saya cintai di dunia ini Bapa dan ibu...
BalasHapus