PAGI tadi, Kamis, 27 November 2009, saya pergi ke kantor jam 08.00. Paling siang dibanding jam-jam berangkat saya sebelumnya. Rute tetep biasa, perempatan Kelapa Dua Cimanggis, Depok, Cijantung, Condet kalibata, Pengadegan, dan Auri. Begitu masuk Auri saya menyalip seorang ibu-ibu sedang bawa dua tas. Dia berjilbab. Perawakannya mirip ibu saya almarhum. Deg.
Jantung saya berdetak lebih cepat. Tanggal 9 November 2009, tiga minggu yang lalu saya ditinggal ibu. Tapi baru hari ini hati saya tersentak demi melihat ibu-ibu tua berjalan bergegas. Entah sedang mengunjungi anaknya atau apa. Aduh senangnya dikunjungi ibu, pikir saya. Sama dengan ketika ibu tanggal 12 Oktober lalu mengunjungi saya anaknya. Wajah ibu tampak tidak secerah tahun-tahun lalu, walau berusaha nampak gembira begitu ketemu saya anaknya.
Ibu adalah alamat dimana kita pulang. Waktu kecil, saya termasuk generasi anak mbok-mbok-en, alias nggak bisa jauh dari sosok ibu. Sampai usia 15 tahun saya nggak pernah jauh dari ibu. Hingga akhirnya menginjak SMA saya harus kost 60 km dari ibu dan hanya pulang sebulan sekali. Lulus SMA saya diterima di Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin dan harus berpisah lama dengan ibu hingga 8 tahun.
Lulus dari UNLAM Banjarbaru Kalsel, saya kembali ke Banyuwangi ke ibu untuk dapat bimbingan rohani. Saya ingat betapa senangnya hati ibu dan hati saya ketika bisa berdekatan lagi. Setelah 8 tahun terpisah. Selama tiga bulan saya makan, tidur, becanda dengan ibu. Sampai akhirnya saya bilang ke ibu, bahwa saya harus mencari pekerjaan ke Jakarta. Ibu sambil berlinangan air mata harus merelakan anaknya kembali pergi jauh darinya.
"Opo gak onok kerjaan sing cedek ambek ibu to, Le?"
Saya menggeleng. Saya katakan ke ibu saya pengen jadi wartawan. Dan itu harus ke Jakarta. Walau akhirnya cita-cita ke Jakarta tidak menjadi wartawan tetapi menjadi karyawan biasa. Tiap saya pulang ke Banyuwangi dari Jakarta, biasanya saya pulang per dua tahun sekali, lalu balik ke Jakarta lagi, tampak ibu memeluk saya erat-erat dan sambil berlinangan air mata. Saya yang dipeluk begitu oleh ibu hanya berusaha tabah, agar tak nampak bersedih. memang awalnya berhasil, tetapi begitu sudah jauh dari ibu. Sambil memeluk istri saya, biasanya saya menangis tersedu-sedan. Ibu dan saya adalah lebih dari anak dan ibu tetapi juga sahabat, tempat ibu curhat ke saya untuk segala permasalahan ibu. Kadang saya membimbing ibu agar tidak lekas marah dan jatuh dalam fitnah.
Ibu kalo sedang punya masalah, pasti akan berkisah dengan gaya yang meledak-ledak dan sepenuh hati. Dan diakhiri dengan isakan tangis yang membuat hati saya ikut teriris. Sebagai laki-laki, anaknya saya berusaha bersikap netral dan obyektip.
Mangkanya sepeninggal ibu, saya agak 'loading' khusus-on bila sedang mengenang kebersamaan dengan mendiang ibu. Ibu senang bila saya berkisah tentang sahabat-sahabat ibu tempo dulu, dan hal-hal yang masih saya ingat ketika saya berusia 2, 3, dan 4 tahun yang kadang ingatan saya mengegetkan ibu.
"Koe kok sik eling to, Le..." begitu setiap kali saya menceritakan moment indah di waktu kecil bersama ibu.
Sampe di kantor jam 9 pagi ini saya langsung menelpon istri saya menceritakan kisah ibu tua bawa 2 tas yang saya lihat barusan. Istri saya berusaha menghibur hati saya yang lagi basah.
"Nanti malam kita doakan ibu lagi ya, Pa..." bisiknya menghiburku.
Ya Allah, ikhlaskan hati saya untuk kepergian ibu saya. Baru sebulan lalu hati saya begitu bahagia ditengah 2 wanita permata hati yang saya banggakan. Namun kini tinggal satu permata, karena satunya Engkau panggil pulang.
Dudukkan dia Ibu saya di kursi mulia disisiMu ya Allah. Ringankan siksa kuburnya, jembarkan rumah kuburnya dan peliharalah ibu saya dengan makanan kubur yang Engkau berkahi.
Jadikan kasih sayangnya menjadi kasih sayangku pada manusia lain, semangatnya menjadi semangat saya meneruskan kehidupan, dan kegigihannya menjadi kegigihan saya dalam bersedekah, mencari ilmu, mennegakkan kebenaran dibumiMu.
Ya Allah jadikanlah saya anak yang soleh, yang selalu mendoakan ibunya, yang menyambung tali silaturahmi sahabat-sahabatnya, dan berjuang sekuat tenaga membela yang lemah, melindungi yang papa, dan membahagiakan sesama.
Ya Allah bawa Ibu saya di surgaMu yang terbaik, terindah dan tertinggi dan antar saya kelak bisa kembali bertemu ibu di surgaMU, permata hati terbaik bagi saya: anaknya.
Jantung saya berdetak lebih cepat. Tanggal 9 November 2009, tiga minggu yang lalu saya ditinggal ibu. Tapi baru hari ini hati saya tersentak demi melihat ibu-ibu tua berjalan bergegas. Entah sedang mengunjungi anaknya atau apa. Aduh senangnya dikunjungi ibu, pikir saya. Sama dengan ketika ibu tanggal 12 Oktober lalu mengunjungi saya anaknya. Wajah ibu tampak tidak secerah tahun-tahun lalu, walau berusaha nampak gembira begitu ketemu saya anaknya.
Ibu adalah alamat dimana kita pulang. Waktu kecil, saya termasuk generasi anak mbok-mbok-en, alias nggak bisa jauh dari sosok ibu. Sampai usia 15 tahun saya nggak pernah jauh dari ibu. Hingga akhirnya menginjak SMA saya harus kost 60 km dari ibu dan hanya pulang sebulan sekali. Lulus SMA saya diterima di Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin dan harus berpisah lama dengan ibu hingga 8 tahun.
Lulus dari UNLAM Banjarbaru Kalsel, saya kembali ke Banyuwangi ke ibu untuk dapat bimbingan rohani. Saya ingat betapa senangnya hati ibu dan hati saya ketika bisa berdekatan lagi. Setelah 8 tahun terpisah. Selama tiga bulan saya makan, tidur, becanda dengan ibu. Sampai akhirnya saya bilang ke ibu, bahwa saya harus mencari pekerjaan ke Jakarta. Ibu sambil berlinangan air mata harus merelakan anaknya kembali pergi jauh darinya.
"Opo gak onok kerjaan sing cedek ambek ibu to, Le?"
Saya menggeleng. Saya katakan ke ibu saya pengen jadi wartawan. Dan itu harus ke Jakarta. Walau akhirnya cita-cita ke Jakarta tidak menjadi wartawan tetapi menjadi karyawan biasa. Tiap saya pulang ke Banyuwangi dari Jakarta, biasanya saya pulang per dua tahun sekali, lalu balik ke Jakarta lagi, tampak ibu memeluk saya erat-erat dan sambil berlinangan air mata. Saya yang dipeluk begitu oleh ibu hanya berusaha tabah, agar tak nampak bersedih. memang awalnya berhasil, tetapi begitu sudah jauh dari ibu. Sambil memeluk istri saya, biasanya saya menangis tersedu-sedan. Ibu dan saya adalah lebih dari anak dan ibu tetapi juga sahabat, tempat ibu curhat ke saya untuk segala permasalahan ibu. Kadang saya membimbing ibu agar tidak lekas marah dan jatuh dalam fitnah.
Ibu kalo sedang punya masalah, pasti akan berkisah dengan gaya yang meledak-ledak dan sepenuh hati. Dan diakhiri dengan isakan tangis yang membuat hati saya ikut teriris. Sebagai laki-laki, anaknya saya berusaha bersikap netral dan obyektip.
Mangkanya sepeninggal ibu, saya agak 'loading' khusus-on bila sedang mengenang kebersamaan dengan mendiang ibu. Ibu senang bila saya berkisah tentang sahabat-sahabat ibu tempo dulu, dan hal-hal yang masih saya ingat ketika saya berusia 2, 3, dan 4 tahun yang kadang ingatan saya mengegetkan ibu.
"Koe kok sik eling to, Le..." begitu setiap kali saya menceritakan moment indah di waktu kecil bersama ibu.
Sampe di kantor jam 9 pagi ini saya langsung menelpon istri saya menceritakan kisah ibu tua bawa 2 tas yang saya lihat barusan. Istri saya berusaha menghibur hati saya yang lagi basah.
"Nanti malam kita doakan ibu lagi ya, Pa..." bisiknya menghiburku.
Ya Allah, ikhlaskan hati saya untuk kepergian ibu saya. Baru sebulan lalu hati saya begitu bahagia ditengah 2 wanita permata hati yang saya banggakan. Namun kini tinggal satu permata, karena satunya Engkau panggil pulang.
Dudukkan dia Ibu saya di kursi mulia disisiMu ya Allah. Ringankan siksa kuburnya, jembarkan rumah kuburnya dan peliharalah ibu saya dengan makanan kubur yang Engkau berkahi.
Jadikan kasih sayangnya menjadi kasih sayangku pada manusia lain, semangatnya menjadi semangat saya meneruskan kehidupan, dan kegigihannya menjadi kegigihan saya dalam bersedekah, mencari ilmu, mennegakkan kebenaran dibumiMu.
Ya Allah jadikanlah saya anak yang soleh, yang selalu mendoakan ibunya, yang menyambung tali silaturahmi sahabat-sahabatnya, dan berjuang sekuat tenaga membela yang lemah, melindungi yang papa, dan membahagiakan sesama.
Ya Allah bawa Ibu saya di surgaMu yang terbaik, terindah dan tertinggi dan antar saya kelak bisa kembali bertemu ibu di surgaMU, permata hati terbaik bagi saya: anaknya.
sangat menyentuh dan merefresh memory saya akan ibu yang telah mencintai anaknya sepanjang hidupnya....
BalasHapussemoga ibunda dari bapak slamet mendapat tempat yang mulia disisi ALLAH SWT...