Saya lagi bosen ngeliat TV yang memperdebatkan iklan PKS yang nayangin tokoh nasional. Ilan PKS memang membuat banyak kontroversi. Di satu sisi orang PKS ngotot kalo itu hanya tayangan untuk mengingatkan kita kembali pada para pahlawan nasional. Tapi banyak pihak yang melihat itu sebagai akal bulus PKS untuk meraih simpati massa.
Memang boleh saja, siapapun nayangin tokoh, dalam rangka kampanye. Tapi apa yang ditanyangin PKS cenderung 'menggunting' di tikungan. Itu yang membuat banyak pihak berang. Saya juga heran kenapa orang pinter banyak di PKS tapi membuat konsep iklan yang agak 'miring', begini. Jangan-jangan mereka sudah mentok ide untuk men-develop raihan simpati untuk Pemilu 2009.
Iklan PKS itu banyak memunculkan polemik yang mungkin mereka pikir bisa mendongkrak popularitas, tapi saya kira itu langkah blunder dalam beriklan di ranah publik.
Di Elshinta TV pernah ditayangin tokoh pengusaha batik Papua yang bicara tentang kegigihannya memproduksi batik asli Papua untuk menangkal batik dari Jawa? Lho, emang apa yang salah dengan batik Jawa. Itu masalahnya kan sama dengan batik dari California di jual di Hawai. Lalu orang Hawai puyeng; bagaimana yah menangkal batik California. Lha kan sama-sama orang Amerika. Kenapa jadi puyeng?
Di Elshinta TV pernah ditayangin tokoh pengusaha batik Papua yang bicara tentang kegigihannya memproduksi batik asli Papua untuk menangkal batik dari Jawa? Lho, emang apa yang salah dengan batik Jawa. Itu masalahnya kan sama dengan batik dari California di jual di Hawai. Lalu orang Hawai puyeng; bagaimana yah menangkal batik California. Lha kan sama-sama orang Amerika. Kenapa jadi puyeng?
Pengusaha Papua itu akan lebih 'manis' bilang : kami memproduksi batik untuk swasembada kebutuhan batik kami dari serbuan batik China dan batik Turki, misalnya. Itu jauh lebih nasionalis daripada ngomong tentang batik Jawa.
Di beberapa iklan caleg di berbagai daerah saya temui iklan caleg yang bilang: inilah putera daerah! Coblos dengan damai???
Saya agak alergi dan bergidik mbayangin kata putera daerah. Haree geneee, ngomong putera daerah. Gubernur harus putera daerah setempat, bupati harus kelahiran sini, lalu presiden harus begini-begono.
Inilah nggak enaknya hidup di Indonesia. Udah disatukan oleh lautan dan geografis masih ngomong daerah. Betapa capeknya Tan Malaka, MH.Thamrin, WR.Supratman, Bung Hatta dan Bung Karno meleburkan hati dan latar belakang untuk menjadi satu, dan kini kita justru "dengan bangga" menyebut putera daerah lebih bernilai dan lebih penting dibanding putera bukan daerah. Ih!
Saya agak alergi dan bergidik mbayangin kata putera daerah. Haree geneee, ngomong putera daerah. Gubernur harus putera daerah setempat, bupati harus kelahiran sini, lalu presiden harus begini-begono.
Inilah nggak enaknya hidup di Indonesia. Udah disatukan oleh lautan dan geografis masih ngomong daerah. Betapa capeknya Tan Malaka, MH.Thamrin, WR.Supratman, Bung Hatta dan Bung Karno meleburkan hati dan latar belakang untuk menjadi satu, dan kini kita justru "dengan bangga" menyebut putera daerah lebih bernilai dan lebih penting dibanding putera bukan daerah. Ih!
Itu juga salah satu sebab mengapa banyak orang dari daerah menyerbu Jakarta dan Jawa. Karena di kota ini dan dan di pulau ini, anda dan saya tak bakalan di cap putera asing atau putera daerah. Semua bisa hidup dengan bebas mengekspresikan hidupnya bagi bangsa.
Semua dinilai sama; sebagai manusia.
Semua dinilai sama; sebagai manusia.
Alangkah bahagianya kita, bila dalam bertingkah laku, bukan keuntungan sendiri yang dimajukan tapi juga memajukan kepentingan banyak orang. Bukan hanya obrolan basi dan nggak mutu tentang puteras daerah dan non-daerah, tapi lebih pada kita semua sama: punya semangat untuk menjadi satu, bagian dari yang lain, keindonesiaan kita.
Nggak perlu iri pada tanah Jawa, karena mbah-mbah anda, dari Sabang sampe Merauke, dari Talaud sampe Ende, dulu diterima dan hidup berbahagia di pulau ini. Idenya diterima, budayanya diterima, dan semua aspek hidupnya dimuliakan. Tanah Jawa tidak menolak orang luar, mau membangun, mau merusak, mau mencopet, mau muntah juga boleh.
Lha kita? Orang luar daerah seperti "orang planet" lain, semua dari Jawa seolah barang najis yang harus disingkirkan. Padahal yang sedang disingkirkan boleh jadi diproduksi oleh orang MInang, orang Dayak, orang Samosir, orang Talaud, orang Timor, orang Lombok yang kebetulan sudah lahir dan besar di tanah Jawa.
Bangsa ini akan tetap kecil bila kita berpikirnya masih daerah-luar daerah, Jawa-nonJawa, kadap awan putih bening. Silakan cape mikir begitu.
Saya mau bebas hidup di Indonesia tanpa cape mikir kalo nama saya masih mengandung pesona, hehehe...pesona Jawa: Slamet Ismulyanto.
Wassalam...
Komentar
Posting Komentar
Kalo Anda pengen diskusi lebih komprehensip, kirim ke email ini : sismulyanto@gmail.com