"Wis koe turu-o Le, Ibu ate turu..." lalu kututup pintu kamar Ibu. Seperti biasa minggu (9/11/08) malam jam 19.45 aku menyiapkan makan malamku. Aku makan berdua istriku. Nasi kukaut, sayur kuambil dari mangkuk, dan telur dadar buatan istriku sudah kupotong separoh untukku dan untuk istriku.
"Laillaha...., laillaha., !"
Aku dan istriku berlari ke kamar. Kami dapati ibu tengah terengah-engah sambil berusaha mengeja kalimat Laillahaillallah. Dengan cepat saya dan istri membimbing dia dengan Lailahaillallah. Tiga kali.
Begitu ibu sempurna melafadzkan kalimat suci itu, kudekap ibu sambil saya pegang dahinya, ibu menghembuskan nafas terakhirnya. Inalillahi wa ina illahi rojiun....
Ibu pergi menemui sang khalik dengan damai.
Empat jam kemudian, saya dan istri bersama 2 driver Yayasan Bunga Kamboja, sudah menyusuri tol Cikampek menuju kota kelahiran ibu, Banyuwangi, Jawa Timur. Jarak dari Jakarta kurang lebih 1.500 km kami tempuh dalam waktu 23 jam diseling solat subuh di Brebes, ngisi minyak di SPBU dan solat dhuhur dan ashar di Bojonegoro.
Senin, 10 November 2008 kami tiba di Kabat, sebuah kampung kecil 8 km sebelum masuk kota Banyuwangi. Di sepanjang jalan, saya terkejut, sanak sodara, handai tolan, kecil-besar, banyak yang menyambut kedatangan kami. Padahal waktu sudah menunjuk 23.00 malam.
Rumah ibu rame sekali. Atas permintaan sanak sodara, jenasah dibuka sebentar dan kembali dishalatkan di mesjid Kabat. Tepat jam 24.00 jenasah ibu dimakamkan di pemakamam umum desa, disebelah kuburan bapak.
Sesuai tradisi kampung, tiap malam kami adakan pengajian hingga hari ke tujuh.
Minggu pagi 16/11/08, saya dan istri sudah nyampe lagi ke Cimanggis. Jemur-jemur kasur, bersih-bersih rumah dan bersilaturahmi dengan tetangga kiri kanan yang seminggu lalu membantui kami merawat jenasah ibu.
Ibu hanya sempat sakit, berdebar jantungnya, selama 23 jam.
Hari-hari ini saya agak takut. Takut kalo meninggalnya saya jauh dari jalan Allah. Takut kalo semua kebaikan kita selama didunia berakhir zero. Kepandaian kita tidak manfaat, harta kita dari jalan salah, dan sepak terjang kita dinilai "haram" oleh manusia.
Wahai ibu, telah kudekap kematian itu, maka:
"Wahai jiwa-jiwa yang tenang,kembalilah kepada Tuhanmu dengan jiwa yang puas lagi diridhoiNya, maka masukklah dalam jamaah hamba-hambaKu, dan masuklah ke dalam jannahKu.."
"Laillaha...., laillaha., !"
Aku dan istriku berlari ke kamar. Kami dapati ibu tengah terengah-engah sambil berusaha mengeja kalimat Laillahaillallah. Dengan cepat saya dan istri membimbing dia dengan Lailahaillallah. Tiga kali.
Begitu ibu sempurna melafadzkan kalimat suci itu, kudekap ibu sambil saya pegang dahinya, ibu menghembuskan nafas terakhirnya. Inalillahi wa ina illahi rojiun....
Ibu pergi menemui sang khalik dengan damai.
Empat jam kemudian, saya dan istri bersama 2 driver Yayasan Bunga Kamboja, sudah menyusuri tol Cikampek menuju kota kelahiran ibu, Banyuwangi, Jawa Timur. Jarak dari Jakarta kurang lebih 1.500 km kami tempuh dalam waktu 23 jam diseling solat subuh di Brebes, ngisi minyak di SPBU dan solat dhuhur dan ashar di Bojonegoro.
Senin, 10 November 2008 kami tiba di Kabat, sebuah kampung kecil 8 km sebelum masuk kota Banyuwangi. Di sepanjang jalan, saya terkejut, sanak sodara, handai tolan, kecil-besar, banyak yang menyambut kedatangan kami. Padahal waktu sudah menunjuk 23.00 malam.
Rumah ibu rame sekali. Atas permintaan sanak sodara, jenasah dibuka sebentar dan kembali dishalatkan di mesjid Kabat. Tepat jam 24.00 jenasah ibu dimakamkan di pemakamam umum desa, disebelah kuburan bapak.
Sesuai tradisi kampung, tiap malam kami adakan pengajian hingga hari ke tujuh.
Minggu pagi 16/11/08, saya dan istri sudah nyampe lagi ke Cimanggis. Jemur-jemur kasur, bersih-bersih rumah dan bersilaturahmi dengan tetangga kiri kanan yang seminggu lalu membantui kami merawat jenasah ibu.
Ibu hanya sempat sakit, berdebar jantungnya, selama 23 jam.
Hari-hari ini saya agak takut. Takut kalo meninggalnya saya jauh dari jalan Allah. Takut kalo semua kebaikan kita selama didunia berakhir zero. Kepandaian kita tidak manfaat, harta kita dari jalan salah, dan sepak terjang kita dinilai "haram" oleh manusia.
Wahai ibu, telah kudekap kematian itu, maka:
"Wahai jiwa-jiwa yang tenang,kembalilah kepada Tuhanmu dengan jiwa yang puas lagi diridhoiNya, maka masukklah dalam jamaah hamba-hambaKu, dan masuklah ke dalam jannahKu.."
Turut berduka cita bos, setiap manusia akan kembali ke asalnya, maka rajin2lah berbuat baik...
BalasHapusTerima kasih Pak Reg3, sebagai manusia saya paham kematian itu satu paket dg kehidupan. Cuma kok ya, begitu cepat buat saya.
BalasHapus