Saya menikah tanggal 11 Juli 1999. 2008 ini berarti 9 tahun lewat sekian bulan usia pernikahan kami. Bagi saya menikah sama dengan cari teman. Abis saya tipe laki-laki introvert dan nggak suka rame-rame, bersosialisasi. Istri saya tipe rame dan ekstrovert, klop-kan?
Bagi saya, istri saya adalah permata hati. Kedudukannya sedikit dibawah permata hati utama : ibu saya. Keduanya wanita yang saya kagumi. Dari ibu, lahir saya: anaknya. Dan dari istri saya lahir hehehe...anak-anak saya. Kenapa hehehe...karena anak saya kayaknya ogah nongol.Hehehe...
Saya menikah saat 31 tahun dan istri 29 tahun; sama-sama hampir udzur.Hehehe...
Awal-awal menikah memang ada sedikit perbedaan. Saya hasil didikan Kopral Samiari dari Yonif 511 Blitar jelas berkarakter "kolong". Dipertemukan dengan istri hasil didikan KH.Ibrahim Hasani yang orang spiritual, jelas agak nyocok-nyocokin. Doski orangnya (maap ya, say...) agak nggendabrus alias nggak disiplin. Naroh peniti, kunci atau apa aja pasti nggak ditaroh ditempatnya. So, saya kalo nyari harus pake marah dulu, baru ketemu.
Sementara saya gayanya, walau disiplin pol, tapi agak minder dich ten! Apalagi pas nggak punya duit.hehehe...Maklum anak tentara! Mana ada yang kaya. Betul?
Tapi lama-lama setting-an kami lumayan jalan. Artinya perbedaan sedikit pasti bisa disatuin, gitu semangatnya. E...nggak terasa 9 tahun, deh.
Karena menikah niatnya nyari teman dan kesediaan untuk berkorban( korban apa kurban, sih?) Jadi ya...gitu deh, so far so good.
Tentang umur, kami memang telat nikah. Biasa...manusia yang bingung dengan karier dan jodoh. Tapi begitu umur 3o, saya mulai kebelet! Dan ternyata menikah itu dasyat!!! Perubahan yang dramatis adalah perubahan bentuk perut saya yang mulai membuncit. Dan tiap malam minggu nggak repot pake baju andalan, minyak wangi, apel dan kegiatan turunannya.
Bagi saya menikah is menikah, seperti sunnah rasul. Jadi tak ada catatan harus punya anak atau apapun. So, biarkanlah pernikahan anda membahagiakan anda. Tanpa syarat apapun. Karena begitu anda membuat syarat dan catatan, pernikahan anda akan memanen masalah.
Dulu, pernikahan jarang yang didului masa pacaran. Ketemu langsung ditawari lalu nikah! Cinta muncul dari rasa berkorban satu sama lain, setelahnya. Jadi keinginan untuk tetap bersatu dalam ikatan cinta yang penuh pengorbanan itulah yang mengikat cinta suami-istri jaman dulu. Terbukti ikatan itu akan kuat. Nggak percaya, dulu sering diekspose "pernikahan perak 25 tahun" dan "pernikahan emas" 50 tahun.
Orang akan bangga dengan reputasi perak dan emas mereka.
Tapi kini? Jangankan 25 tahun, bertahan 3-10 tahun kayaknya agak terkesan aneh! Saya berpikir, nilai-nilai back to family yang kini banyak dipublikasikan masyarakat Amerika adalah bukti empiris betapa rusaknya masyarakat yang tidak berhasil membangun social power berupa keutuhan suami-istri bertahan di tengah pergaulan dengan bangsa-bangsa lain. Egoisme yang pandemik ditambah dengan stress yang berurat-berakar membuat Amerika seperti polisi yang banyak senjata tapi nggak punya hati.
Jadi jangan tiru orang Amerika yang hanya membangun masyarakat yang sakit, tapi segeralah tiru manfaat orang kito jaman dulu: menikah untuk membantu pasangan kita dalam membangun pondasi bangsa yang dibangun dengan kasih sayang dan pengorbanan.
Kalo anda mau menikah, jangan pilih harus nikah dengan siapa? Tapi berdoalah Allah memberi anda pasangan yang diberinya anda kesempatan untuk menolong, membantu, dan membahagiakan pasangan anda, lewat anda.
Bagi saya, istri saya adalah permata hati. Kedudukannya sedikit dibawah permata hati utama : ibu saya. Keduanya wanita yang saya kagumi. Dari ibu, lahir saya: anaknya. Dan dari istri saya lahir hehehe...anak-anak saya. Kenapa hehehe...karena anak saya kayaknya ogah nongol.Hehehe...
Saya menikah saat 31 tahun dan istri 29 tahun; sama-sama hampir udzur.Hehehe...
Awal-awal menikah memang ada sedikit perbedaan. Saya hasil didikan Kopral Samiari dari Yonif 511 Blitar jelas berkarakter "kolong". Dipertemukan dengan istri hasil didikan KH.Ibrahim Hasani yang orang spiritual, jelas agak nyocok-nyocokin. Doski orangnya (maap ya, say...) agak nggendabrus alias nggak disiplin. Naroh peniti, kunci atau apa aja pasti nggak ditaroh ditempatnya. So, saya kalo nyari harus pake marah dulu, baru ketemu.
Sementara saya gayanya, walau disiplin pol, tapi agak minder dich ten! Apalagi pas nggak punya duit.hehehe...Maklum anak tentara! Mana ada yang kaya. Betul?
Tapi lama-lama setting-an kami lumayan jalan. Artinya perbedaan sedikit pasti bisa disatuin, gitu semangatnya. E...nggak terasa 9 tahun, deh.
Karena menikah niatnya nyari teman dan kesediaan untuk berkorban( korban apa kurban, sih?) Jadi ya...gitu deh, so far so good.
Tentang umur, kami memang telat nikah. Biasa...manusia yang bingung dengan karier dan jodoh. Tapi begitu umur 3o, saya mulai kebelet! Dan ternyata menikah itu dasyat!!! Perubahan yang dramatis adalah perubahan bentuk perut saya yang mulai membuncit. Dan tiap malam minggu nggak repot pake baju andalan, minyak wangi, apel dan kegiatan turunannya.
Bagi saya menikah is menikah, seperti sunnah rasul. Jadi tak ada catatan harus punya anak atau apapun. So, biarkanlah pernikahan anda membahagiakan anda. Tanpa syarat apapun. Karena begitu anda membuat syarat dan catatan, pernikahan anda akan memanen masalah.
Dulu, pernikahan jarang yang didului masa pacaran. Ketemu langsung ditawari lalu nikah! Cinta muncul dari rasa berkorban satu sama lain, setelahnya. Jadi keinginan untuk tetap bersatu dalam ikatan cinta yang penuh pengorbanan itulah yang mengikat cinta suami-istri jaman dulu. Terbukti ikatan itu akan kuat. Nggak percaya, dulu sering diekspose "pernikahan perak 25 tahun" dan "pernikahan emas" 50 tahun.
Orang akan bangga dengan reputasi perak dan emas mereka.
Tapi kini? Jangankan 25 tahun, bertahan 3-10 tahun kayaknya agak terkesan aneh! Saya berpikir, nilai-nilai back to family yang kini banyak dipublikasikan masyarakat Amerika adalah bukti empiris betapa rusaknya masyarakat yang tidak berhasil membangun social power berupa keutuhan suami-istri bertahan di tengah pergaulan dengan bangsa-bangsa lain. Egoisme yang pandemik ditambah dengan stress yang berurat-berakar membuat Amerika seperti polisi yang banyak senjata tapi nggak punya hati.
Jadi jangan tiru orang Amerika yang hanya membangun masyarakat yang sakit, tapi segeralah tiru manfaat orang kito jaman dulu: menikah untuk membantu pasangan kita dalam membangun pondasi bangsa yang dibangun dengan kasih sayang dan pengorbanan.
Kalo anda mau menikah, jangan pilih harus nikah dengan siapa? Tapi berdoalah Allah memberi anda pasangan yang diberinya anda kesempatan untuk menolong, membantu, dan membahagiakan pasangan anda, lewat anda.
Komentar
Posting Komentar
Kalo Anda pengen diskusi lebih komprehensip, kirim ke email ini : sismulyanto@gmail.com