Umur 27 tahun saya datang ke Jakarta, tepatnya 1 Desember 1995. Waktu itu Jakarta benar-benar "the city dream". Kendaraan sedikit, lalu lintas lancar dan nyari kerja sangat enak. Waktu itu tanggal 31 Desember 1995, saya habiskan waktu tengah malam ngeliat Jalan Thamrin riuh-rendah oleh pawai kendaraan yang menuju dan keluar Monas. Saya sempat ikut ngelihat Monas dari dekat. Sepertinya penduduk Jakarta "tumplek blek" di Monas waktu itu. Saya heran bin takjub melihat kemeriahan yang nggak pernah saya lihat seumur hidup. Perasaaan saya campur aduk nggak tahu harus senang atau sedih.
31 Desember 1996, saya habis dapet musibah, yaitu gaji satu bulan raib dari celana alias dicopet orang di kereta rel listrik Jakarta- Bogor. Nah malam tahun baru itu saya hanya nge-gitar di sudut kamar dengan tema-tema sedih: sepanjang malam sampe saya ngantuk dan tertidur sampe pagi.
31 Desember 1997 saya tidak lagi "turun ke jalan" namun ikutan rame-rame bakar ayam trus dimakan bareng kawan-kawan di pondokan ASRI dekat Pondok Cina Depok bareng Azwir, anak Padang, teman satu kerja di Matahari Gudang Cimanggis. Besok paginya pulas kekenyangan bahkan nggak sempat sholat subuh.
Astagfirullah.
31 Desember 1996, saya habis dapet musibah, yaitu gaji satu bulan raib dari celana alias dicopet orang di kereta rel listrik Jakarta- Bogor. Nah malam tahun baru itu saya hanya nge-gitar di sudut kamar dengan tema-tema sedih: sepanjang malam sampe saya ngantuk dan tertidur sampe pagi.
31 Desember 1997 saya tidak lagi "turun ke jalan" namun ikutan rame-rame bakar ayam trus dimakan bareng kawan-kawan di pondokan ASRI dekat Pondok Cina Depok bareng Azwir, anak Padang, teman satu kerja di Matahari Gudang Cimanggis. Besok paginya pulas kekenyangan bahkan nggak sempat sholat subuh.
Astagfirullah.
31 Desember 1998 saya agak lupa ngapain aja. Yang saya ingat saya hanya ngoceh nguliahi Azis, teman satu kampung yang kebetulan tinggal satu kost dengan saya. Dia anaknya agak ngeyel tentang prinsip-prinsip hidup. Pendek kata saya sharing dengan Azis tentang sepenggal perjalanan kami selama di Jakarta. Kini Azis sudah jadi sopir angkot di kota kami di Banyuwangi, setelah dia sempat di penjara di penjara Bogor sana.
31 Desember 1999 saya di desa Tobat Balaraja, Tangerang Banten sana. Iya saya ngikut Gudang Matahari pindah ke gudang baru. Desa ini sepi dan ampun terkebelakang! Walah. Saya hanya menghabiskan 31 Desember dalam sholat malam; sendirian. Sampai capek. Status saya waktu itu sudah menikah namun istri masih di Sampit Kalimantan Tengah.
31 Desember 2000, saya bareng istri tengah di perjalanan menuju Banyuwangi karena 29 Desember 2000 ayah saya (Samiari) meninggal dunia dalam usia 61 tahun. Pikiran saya hanya dipenuhi doa-doa untuk bapak semoga Allah memberi ampunan dan ganjaran pahala atas semua kebajikan yang pernah dia buat didunia.
31 Desember 2001 saya habiskan malam dengan bikin mie rebus dua mangkuk lalu kami makan bersama istri. Gitu aja. Kami mencoba mengenang masa pacaran kami dulu tahun 1989 yang makan mie rebus juga bersama. Hehehe...sedih banget ya. Lalu istri ngajak sholat malam sebagai tanda syukur kami masih "diberi" hidup dalam tahun yang berganti.
31 Desember 2002 saya bareng istri sholat "qiyamul lail" di Mesjid Al-Muqqorrobin di komplek Perumahan Bukit Cengkeh 2 di Cimanggis Depok. Pergantian tahun selayaknya diakhiri dengan introspeksi diri dan mohon ampun pada yang punya dunia atas apapun yang akan ditakdirkanNYA tahun lalu dan tahun depan.
31 Desember 2003, 2004, 2005, 2006 saya bareng istri rutin datang ke Mesjid At-Tinn untuk menghadiri Tabliq Akbar bareng Ustadz Arifin Ilham mengisi malam pergantian tahun dengan istiqfar, dzikir dan dipenuhi kesyahduan doa yang kami panjatkan bersama ribuan hadirin.
31 Desember 2007 saya bareng istri menuju Banjarmasin guna menghadiri upacara pemakaman nenek kami tercinta nenek Aisyah (Nenek Ical) yang meninggal di usia yang cukup tua 84 tahun. Semoga Allah menyayangi beliau di alam kubur. Di Banjarmasin kami tinggal selama 1 minggu baru balik lagi ke Jakarta.
31 Desember 2008 saya cerita ke istri untuk ikut ke At-Tin lagi karena akan ada Tabliq Akbar bareng Arifin Ilham, Adyaksa Dault, Hidayat Nur Wahid, dan bintang acara Habiburrahman El-Shirazy, penulis mega best seller Ayat-Ayat Cinta yang fenomenal itu. Acara ini disponsori Hraian Republika. Acara di TMII, sebelahnya, selalu acara pagelaran musik dan di At-Tinn pengajian hingga tengah malam. Tadi pagi kami sudah berencana pakai sepeda motor aja karena dijamin macet, seperti tahun-tahun sebelumnya, begitu kami bubar jam 24.00 wib, dari TMII acara musik juga bubar jadi bertemu di simpang lampu merah TMII sehingga macet nggak ketulungan.
Untung kami bersepeda motor. Dari rumah At-Tin hanya 12 km dan itu pun lewat "jalan dalam" Kopassus Cijantung.
Apa yang bisa kami maknai dari pergantian tahun itu. Kami tidak ingin "kejebak" dan bodoh memaknai tahun baru dengan beli terompet dan jingkrak2 kegirangan. Enak betul orang Kristen ya. Dia yang punya tahun baru, kite yang ngerayain, orang Islam yg tukang jual terompet, yang heboh bahkan yang mati jatuh dari truk. Besoknya orang Islam lagi yang nyapuin sampahnya pagi-pagi.
Para produser TV pada dandanin artis, tokoh politik dan tv-nya dengan dandanan ala siterklas. kadang saya neg melihat itu semua. Apa yang mo dicapai dari acara begituan Sok gaul ato bego karena di arahkan oleh media massa untuk "ikut" memeriahkan tahun baru yang nggak tahu di mana barunya.
Saya teringat kampung-kampung yang saya lewati baik ke Banyuwangi atau ke Banjarmasin. Banyak orang susah yang melarat hidup dibalik ketidakpastian hari, menunggu kita untuk turun menolongnya. Pasti bukan dengan hura-hura ke Monas atau nonton musik ampe pagi.
Ayo sodare, hijrahlah ke kampung sodara-sodara kite di propinsi lain, masih banyak penderitaan yang ente pade kudu rayain bareng mereka. Hidup ente bukan Jakarte aje. Hijrah dunk, hijrah. Kayak Nabi kite, gitu...........
31 Desember 1999 saya di desa Tobat Balaraja, Tangerang Banten sana. Iya saya ngikut Gudang Matahari pindah ke gudang baru. Desa ini sepi dan ampun terkebelakang! Walah. Saya hanya menghabiskan 31 Desember dalam sholat malam; sendirian. Sampai capek. Status saya waktu itu sudah menikah namun istri masih di Sampit Kalimantan Tengah.
31 Desember 2000, saya bareng istri tengah di perjalanan menuju Banyuwangi karena 29 Desember 2000 ayah saya (Samiari) meninggal dunia dalam usia 61 tahun. Pikiran saya hanya dipenuhi doa-doa untuk bapak semoga Allah memberi ampunan dan ganjaran pahala atas semua kebajikan yang pernah dia buat didunia.
31 Desember 2001 saya habiskan malam dengan bikin mie rebus dua mangkuk lalu kami makan bersama istri. Gitu aja. Kami mencoba mengenang masa pacaran kami dulu tahun 1989 yang makan mie rebus juga bersama. Hehehe...sedih banget ya. Lalu istri ngajak sholat malam sebagai tanda syukur kami masih "diberi" hidup dalam tahun yang berganti.
31 Desember 2002 saya bareng istri sholat "qiyamul lail" di Mesjid Al-Muqqorrobin di komplek Perumahan Bukit Cengkeh 2 di Cimanggis Depok. Pergantian tahun selayaknya diakhiri dengan introspeksi diri dan mohon ampun pada yang punya dunia atas apapun yang akan ditakdirkanNYA tahun lalu dan tahun depan.
31 Desember 2003, 2004, 2005, 2006 saya bareng istri rutin datang ke Mesjid At-Tinn untuk menghadiri Tabliq Akbar bareng Ustadz Arifin Ilham mengisi malam pergantian tahun dengan istiqfar, dzikir dan dipenuhi kesyahduan doa yang kami panjatkan bersama ribuan hadirin.
31 Desember 2007 saya bareng istri menuju Banjarmasin guna menghadiri upacara pemakaman nenek kami tercinta nenek Aisyah (Nenek Ical) yang meninggal di usia yang cukup tua 84 tahun. Semoga Allah menyayangi beliau di alam kubur. Di Banjarmasin kami tinggal selama 1 minggu baru balik lagi ke Jakarta.
31 Desember 2008 saya cerita ke istri untuk ikut ke At-Tin lagi karena akan ada Tabliq Akbar bareng Arifin Ilham, Adyaksa Dault, Hidayat Nur Wahid, dan bintang acara Habiburrahman El-Shirazy, penulis mega best seller Ayat-Ayat Cinta yang fenomenal itu. Acara ini disponsori Hraian Republika. Acara di TMII, sebelahnya, selalu acara pagelaran musik dan di At-Tinn pengajian hingga tengah malam. Tadi pagi kami sudah berencana pakai sepeda motor aja karena dijamin macet, seperti tahun-tahun sebelumnya, begitu kami bubar jam 24.00 wib, dari TMII acara musik juga bubar jadi bertemu di simpang lampu merah TMII sehingga macet nggak ketulungan.
Untung kami bersepeda motor. Dari rumah At-Tin hanya 12 km dan itu pun lewat "jalan dalam" Kopassus Cijantung.
Apa yang bisa kami maknai dari pergantian tahun itu. Kami tidak ingin "kejebak" dan bodoh memaknai tahun baru dengan beli terompet dan jingkrak2 kegirangan. Enak betul orang Kristen ya. Dia yang punya tahun baru, kite yang ngerayain, orang Islam yg tukang jual terompet, yang heboh bahkan yang mati jatuh dari truk. Besoknya orang Islam lagi yang nyapuin sampahnya pagi-pagi.
Para produser TV pada dandanin artis, tokoh politik dan tv-nya dengan dandanan ala siterklas. kadang saya neg melihat itu semua. Apa yang mo dicapai dari acara begituan Sok gaul ato bego karena di arahkan oleh media massa untuk "ikut" memeriahkan tahun baru yang nggak tahu di mana barunya.
Saya teringat kampung-kampung yang saya lewati baik ke Banyuwangi atau ke Banjarmasin. Banyak orang susah yang melarat hidup dibalik ketidakpastian hari, menunggu kita untuk turun menolongnya. Pasti bukan dengan hura-hura ke Monas atau nonton musik ampe pagi.
Ayo sodare, hijrahlah ke kampung sodara-sodara kite di propinsi lain, masih banyak penderitaan yang ente pade kudu rayain bareng mereka. Hidup ente bukan Jakarte aje. Hijrah dunk, hijrah. Kayak Nabi kite, gitu...........
Komentar
Posting Komentar
Kalo Anda pengen diskusi lebih komprehensip, kirim ke email ini : sismulyanto@gmail.com