Langsung ke konten utama

AYAH



ADA seorang sahabat bercerita kalo ia deket banget dengan ayahnya. Apalagi sejak ayahnya sakit-sakitan. Ia merasa ayahnya sakit psikis larena banyak pikiran. Ayahnya ingin kembali ke tempat dimana ayahnya dilahirkan.


Saya tidak tahu bagaimana pikiran wanita beroperasi, namun bila saya mendengar kisah-kisah tentang bagaimana "kangennya" laki-laki dengan suasana dimana dia dilahirkan, dan dibesarkan. Saya menjadi inget ayah saya.

Nama ayah saya Samiari. Waktu ia muda, teman, bibi dan budenya biasa panggil Didik. Mangkanya setelah jadi TNI AD sekitar tahun 1963, lencana nama yang tertempel di dadanya tertulis D. SAMIARI. Kalo saya tanya D itu apa Pak? Didik, jawabnya singkat.

Sejak ayah saya masih muda, ia terkenal ganteng, humoris dan ekstrovert. Temennya banyak. Hanya sayang 'cos orangtuanya banyak anak, Samiaji, Samiati, Samiadi, Samiari, Samiani, Samiasih, mangkanya bapak kalo mau makan harus nyari ke tetangga dulu. Dimana rumah tetangga ada kerjaan, baikin genteng, pager, ngasak padi, nyabit rumput, petik buah. Pendek kata, kerjaan apa saja, ayah ringan tangan mbantu.

Menurut ayah, masak sih nggak dikasih makan. Kan udah dibantu. Hehehe....jenius juga! Dan benar, rata-rata tetangganya memang nawarin makan setelah tiba jam makan siang atao jam makan malam. Prinsip ayah, jangan pernah berhenti bekerja sebelum ditawarin makan. Great...

Dengan cara itu, ayah nggak pernah "kaliren", dan ayah terkenal di semua kalangan, kecil-besar, tua-muda, laki-bini. Banyak cewek-cewek yang naksir ama ayah, disamping ganteng juga humoris. Tapi sebatas naksir, 'cos pekerjaan ayah masih nggak menentu. Dia pernah jadi hansip, masuk grup "janger" di Kabat, juga pernah jadi jongos tentara di Koramil. Terakhir kerja di bengkel sepeda. Di sinilah ia ngelirik gadis manis, solehah dan pinter ngaji. Yaitu ibu saya.


Tak lama kemudian dia dapat panggilan untuk mobilisasi TNI-Rakyat untuk membebaskan Irian Barat (Papua, pen).Ayah resmi jadi tentara, TNI AD dengan pangkat prajurit dua (prada), Batalyon Infantri 511 Dibyatara Yodha Blitar, Jawa Timur. Sepulang dari Irian Barat, ayah bawa uang sekoper ngelamar ibu, mungkin tahun 1965. Karena setahun kemudian lahirlah Anis Ismulyaningsih, kakak saya. Lalu tahun 1968 nongolah saya ke dunia, Slamet Ismulyanto. Oek--oek-oek..hehehe...(begitulah kira-kira).


Waktu saya tanyak, kenapa milih ibuk yang gadis "biasa", padahal banyak gadis cantik yang naksir ayah. Dia bilang, ibukmu pinter ngaji, Le.....


Sejak nikah, tahun 1965, ibu sudah dibawa keliling Jawa Timur, Madiun, Kedunggalar, Magetan, Tulungagung, Malang, Kediri, Pasuruan, dan akhirnya lama di Blitar. yang saya ingat, tingal di Blitar sejak tahun 1970. Saya udah umur dua tahun dan ingat suatu hari banyak orang berdiri berjejer di pinggir jalan dan menangis bersama. Belakangan saya tahu kalo itu adalah hari meninggalnya Bung Karno, Presiden pertama RI. Bung Karno dimakamkan di Blitar Utara, Bendogerit, kalo nggak salah.


Ayah pernah cerita, waktu ibuk mbobot saya dengan usia kandungan 9 bulan, ada berita ibu mau melahirkan. Waktu itu ibu di Blitar dan akhirnya pulang ke Kabat-Banyuwangi. Ayah masih tugas di Istana Merdeka, Jakarta. Setelah mengajukan cuti mendadak, ayah pulang ke Banyuwangi. Uniknya, pulangnya ayah kan nyegat bis, critanya di pinggir jalan. Ayah tinggal di jalan Jaga Monyet (Suryopranoto). Lama nggak muncul bis, kesabaran mulai raib. Melintaslah sedan putih dari jauh. Ayah melambai-lambaikan tangan meminta sedan putih menepi. Si sopir bukannya berhenti malah tancap gas. Lewat. Dan dor! Ban sedan putih kempes. Si sedan menepi. Pake pistolnya, ayah menembak ban kanan belakang sedan tadi. Diantarlah ayah sampai Banyuwangi, 1.129 km dari Jakarta. FREE. Dasyat...!


Sampai di Banyuwangi, ike eh ane, eh saya, udah nongol duluan seminggu. Kontan wajah ayah yang ganteng bin mulus, berdarah-darah dicakari ibu dan bu de saya. Seremmm....


Ayah seorang penyabar.


Dari tahun 1965 sampe 1980 kami tinggal di Blitar. Kota kecil yang penuh kenangan. sampai akhirnya kami harus pindah, 'cos ayah memasuki usia MPP (Masa Persiapan Pensiun). kami pindah balik ke sebuah desa kecil namanya Siliragung, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi, Jawa Timur. Letaknya di ujung timur pulau Jawa. karena ayah lahir tanggal 1-1-1939, maka pas tahun 1980 dia berumur 41 tahun. Llha imam ngajak pindah, jemaah hayoo aja.


Saya inget, ibuk nangis aja waktu awal-awal pindah. Ndeso banget, beda dengan Blitar. Tapi keputusan imam udah bulat, balik ke kampung. Walau sama-sama masuk kabupaten Banyuwangi, Siliragung bukan kampung asal ayah dan ibu.


Sekarang setelah saya berumur 42 tahun, baru saya nyadar bahwa saya juga udah mulai gelisah pengen pulkam, alias get-out from DKI. Walaupun sekarang, lagi posisi di puncak, tapi bukankah kita harus mulai bersiap dengan kematian??? Mengapa kematian? Karena kita adalah bagian dari jiwa Allah yang akan embali, suka tidak suka, mau tidak mau. Faktanya adalah ketika manusia makin lanjut usianya, makin berusaha dekat dengan Khaliknya. Bukankah itu bingkai kehidupan yang menggiring kita ke Pencipta kita.


Dulu ayah waktu muda sangat bersemangat bekerja, nggak tau siang, malampun dihajarnya juga. Tapi begitu senja usianya, nggak tau waktu, dia eja firman-firman Allah dalam siang dan malamnya, laksana Pangeran Diponegoro yang re-rengengan sebelum terlelap. Benar saja, setahun setelahnya, ayah menghadap yang Kuasa dengan gagah berani.


Waktu muda, laki-laki membawa istri dan anak-anaknya mengembara mengikuti jalan rizki, kemana aja di bumi Allah. Sampai pada sebuah titik balik, laki-laki ini pula yang akan membawa rombongan jemaah kembali pulang, bisa ke kampung halamannya ato ke tempat sunyi untuk menghabiskan masa-masa indah sebelum dekat pada kematiannya. Tak taulah aku, betapa banyak laki-laki yang senja usianya tertahan tak bisa balik oleh karena istri, anak, keluarga atao whatever, sehingga seperti kata sahabat saya, "Ayah memikirkan sesuatu yang membuatnya tertekan...."


Duhai Allah, jadikan para istri-istri di muka bumi ini, menurut dan membahagiakan hati suaminya. Ia tak minta dunia, ia tak minta apa-apa. Ia hanya minta bisalah balik kemana kita dulu berasal. Jangan sampe hanya kepada anak, atau kepada cucu, maksud hati bapak, ayah, dan Mbah Kakung terbaca....



Komentar

Postingan populer dari blog ini

ENGGAK MUDIK (LAGI) DI 2017

Biasalah Sodara-sodara.   Lebaran Juni 2017 ini saya dan istri nggak mudik.  Baik mudik ke Banjarmasin ato ke Banyuwangi. Seperti tahun-tahun sebelumnya, kami sudah memutuskan untuk tidak akan mudik saat Lebaran tiba.  Mengapa? Selama hampir 22 tahun di Jakarta, saya mudik saat menjelang Lebaran terjadi pada 1997, 1998, 2000, 2001, 2003, 2004, 2006, 2009.  Setelah itu mudik tapi nggak menjelang Lebaran.  Artinya pulang kampungnya bisa dua kali tapi di bulan yang lain.  Kami tahu betapa hebohnya mudik menjelang lebaran.  Dari sulitnya cari tiket, desak-desakan di bis/kereta api, sampai susahnya pula perjalanan arus balik.  Itu sebabnya bila Anda ingin mudik rileks, tenang, damai dan fun, maka pilihlah mudik di luar Lebaran.  Lagian mana tahan orang 19 juta pemudik bergerak bersama di jalan yg itu-itu juga (Referensi, Budi K. Sumadi, Menhub).  Sangat tidak layak, berbahaya, dan menyengsarakan.  Kita bicara orang Jakarta yang mudik saja, prediksi total 4 juta saja dg asumsi mo

MENSIKAPI DATANGNYA MASA TUA

Setelah solat subuh di Mejid Al-Muqarrabin, pagi ini, 3 Muharam 1432 H atau 9 Desember 2010, saya buru-buru pulang. Apa pasal? Saya pengen buru-buru nulis di blog ini mumpung ingatan saya tentang materi kultum yang saya bawakan masih anget bin kebul-kebul. Heee..... Begitulah Pembaca Yang Budiman, saya barusan share pengetahuan dengan ngasih kultum di mesjid kali ketiga atau dalam 3 bulan terakhir ini. Seperti biasa materi saya kumpulin dari internet, Quran, beberapa hadist dan beberapa riwayat. Kebiasaan juga masih, saya mempersiapkannya jam 21.00 ampek 23.30 wib, terus siapin hape dengan irama alarm, biar nggak kelewat. Bahaya, kan? Inilah kira-kira isi ceramah itu: Assalamuaalaikum warrah matullahi wabaraktuh. إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِهَدُ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ ،َأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ

LAKI-LAKI MENANGIS

DIANTARA karunia dan nikmat Allah bagi umat ini adalah Dia (Allah) mengutus Nabi Muhammad kepada kita. Dengan diutusnya Muhammad Rosulullah, Allah menjadikan mata yang buta menjadi terbuka, membuat telinga yang tuli menjadi mendengar, dan membuka kalbu yang terkunci mati. Diutusnya Rasulullah, Allah menunjuki orang yang sesat, memuliakan orang yang hina, menguatkan orang yang lemah dan menyatukan orang serta kelompok setelah mereka bercerai-berai. Selasa 5 Juli 2011 bila anda nonton TV-One live ada menanyangkan pemakaman KH. Zainuddin MZ. Kamera sempat menyorot dua tokoh nasional H.Rhoma Irama dan KH. Nur Iskandar SQ keduanya tampak menangis. Mengapa mereka menangis? Pernahkah anda menangis oleh karena melihat orang meninggal dunia? Ataukah kita baru mengingat pada kematian? Ad-Daqqa berkata : "Barangsiapa yang sering ingat kematian, ia akan dimuliakan dengan 3 hal, yakni : lekas bertobat, hati yang qanaah (menerima apa adanya ketentuan Allah), dan semangat dalam beribadah. &q