Waktu saya tanyak, kenapa milih ibuk yang gadis "biasa", padahal banyak gadis cantik yang naksir ayah. Dia bilang, ibukmu pinter ngaji, Le.....
Sejak nikah, tahun 1965, ibu sudah dibawa keliling Jawa Timur, Madiun, Kedunggalar, Magetan, Tulungagung, Malang, Kediri, Pasuruan, dan akhirnya lama di Blitar. yang saya ingat, tingal di Blitar sejak tahun 1970. Saya udah umur dua tahun dan ingat suatu hari banyak orang berdiri berjejer di pinggir jalan dan menangis bersama. Belakangan saya tahu kalo itu adalah hari meninggalnya Bung Karno, Presiden pertama RI. Bung Karno dimakamkan di Blitar Utara, Bendogerit, kalo nggak salah.
Ayah pernah cerita, waktu ibuk mbobot saya dengan usia kandungan 9 bulan, ada berita ibu mau melahirkan. Waktu itu ibu di Blitar dan akhirnya pulang ke Kabat-Banyuwangi. Ayah masih tugas di Istana Merdeka, Jakarta. Setelah mengajukan cuti mendadak, ayah pulang ke Banyuwangi. Uniknya, pulangnya ayah kan nyegat bis, critanya di pinggir jalan. Ayah tinggal di jalan Jaga Monyet (Suryopranoto). Lama nggak muncul bis, kesabaran mulai raib. Melintaslah sedan putih dari jauh. Ayah melambai-lambaikan tangan meminta sedan putih menepi. Si sopir bukannya berhenti malah tancap gas. Lewat. Dan dor! Ban sedan putih kempes. Si sedan menepi. Pake pistolnya, ayah menembak ban kanan belakang sedan tadi. Diantarlah ayah sampai Banyuwangi, 1.129 km dari Jakarta. FREE. Dasyat...!
Sampai di Banyuwangi, ike eh ane, eh saya, udah nongol duluan seminggu. Kontan wajah ayah yang ganteng bin mulus, berdarah-darah dicakari ibu dan bu de saya. Seremmm....
Ayah seorang penyabar.
Dari tahun 1965 sampe 1980 kami tinggal di Blitar. Kota kecil yang penuh kenangan. sampai akhirnya kami harus pindah, 'cos ayah memasuki usia MPP (Masa Persiapan Pensiun). kami pindah balik ke sebuah desa kecil namanya Siliragung, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi, Jawa Timur. Letaknya di ujung timur pulau Jawa. karena ayah lahir tanggal 1-1-1939, maka pas tahun 1980 dia berumur 41 tahun. Llha imam ngajak pindah, jemaah hayoo aja.
Saya inget, ibuk nangis aja waktu awal-awal pindah. Ndeso banget, beda dengan Blitar. Tapi keputusan imam udah bulat, balik ke kampung. Walau sama-sama masuk kabupaten Banyuwangi, Siliragung bukan kampung asal ayah dan ibu.
Sekarang setelah saya berumur 42 tahun, baru saya nyadar bahwa saya juga udah mulai gelisah pengen pulkam, alias get-out from DKI. Walaupun sekarang, lagi posisi di puncak, tapi bukankah kita harus mulai bersiap dengan kematian??? Mengapa kematian? Karena kita adalah bagian dari jiwa Allah yang akan embali, suka tidak suka, mau tidak mau. Faktanya adalah ketika manusia makin lanjut usianya, makin berusaha dekat dengan Khaliknya. Bukankah itu bingkai kehidupan yang menggiring kita ke Pencipta kita.
Dulu ayah waktu muda sangat bersemangat bekerja, nggak tau siang, malampun dihajarnya juga. Tapi begitu senja usianya, nggak tau waktu, dia eja firman-firman Allah dalam siang dan malamnya, laksana Pangeran Diponegoro yang re-rengengan sebelum terlelap. Benar saja, setahun setelahnya, ayah menghadap yang Kuasa dengan gagah berani.
Waktu muda, laki-laki membawa istri dan anak-anaknya mengembara mengikuti jalan rizki, kemana aja di bumi Allah. Sampai pada sebuah titik balik, laki-laki ini pula yang akan membawa rombongan jemaah kembali pulang, bisa ke kampung halamannya ato ke tempat sunyi untuk menghabiskan masa-masa indah sebelum dekat pada kematiannya. Tak taulah aku, betapa banyak laki-laki yang senja usianya tertahan tak bisa balik oleh karena istri, anak, keluarga atao whatever, sehingga seperti kata sahabat saya, "Ayah memikirkan sesuatu yang membuatnya tertekan...."
Duhai Allah, jadikan para istri-istri di muka bumi ini, menurut dan membahagiakan hati suaminya. Ia tak minta dunia, ia tak minta apa-apa. Ia hanya minta bisalah balik kemana kita dulu berasal. Jangan sampe hanya kepada anak, atau kepada cucu, maksud hati bapak, ayah, dan Mbah Kakung terbaca....
Komentar
Posting Komentar
Kalo Anda pengen diskusi lebih komprehensip, kirim ke email ini : sismulyanto@gmail.com