Mana tulisan Jogja yang benar: Jogja, Jogya, Yokya, atau Yogja. Itulah. Karena saya suka ketegasan, maka saya pake Jogja untuk menuliskan kota Jogjakarta. Minggu lalu saya hampir 4 hari penuh keliling kota Gudeg ini.
Wisata?
Bukan. Lebih tepatnya survey. Mengapa survey? Karena saya udah bikin program harus segera persiapan get out dari kota penuh sesak: Jakarta. Salah satu kota inceran itu adalah Jogja. Perjalanan ini adalah kali ketiga saya mengunjungi kota ini, sebelumnya saya pernah singgah di tahun 1998 dan 2003 bareng istri. Kotanya "ayem' dan penduduknya ramah.
Dari rumah saya diantar istri sampe stasiun UI Depok lalu meneruskan perjalanan pakai kereta ekspress Bogor-Jakarta turun di Gambir. Dari Gambir, saya naik Taksaka berangkat pukul 20.45 wib. Karena perjalanan malam hari, dus saya nggak bisa lihat pemandangan karena gelap. Akhirnya saya putusin memejamkan mata saja. Karena kereta eksekutip, maka jarak Jakarta-Jogja yang 518 km hanya ditempuh dalam waktu 8 jam saja dengan beberapa perhentian di stasiun besar seperti, Cirebon, Purwokerto dan Tugu Jogja.
Saya benar-benar menikmati perjalanan dengan kereta ini, nggak usah cape nyetir, bisa tidur pules, dan segera nyampe.
Sesuai rencana saya dijemput teman saya dan dibawa ke Bantul, 13 km selatan Jogja. Sepanjang jalan hampir tidak ada macet yg berarti kecuali di lampu merah. Namun Jogja sekarang banyak orang pake sepeda motor lalu-lalang di jalan. Hanya sesekali saya jumpai orang pake sepeda kayuh.
Hari pertama, saya langsung diajak ke Sleman daerah Kaliurang. Daerah Kaliurang adalah dataran tinggi di Jogja yang berhawa lebih sejuk dibanding Bantul dan Jogja kota. Di situ melihat pembenihan ikan, pasar benih dan lokasi pemancingan. Disini jalan menanjak, cos memang lereng gunung menuju Merapi, gunung paling aktip di Jawa. Tampaknya udeh deket rumah Mbah Kakung Marijan. Hehehe....
Kanan-kiri jalan orang Kaliurang menanam tanaman salak. Secara umum lokasi di Kaliurang sejuk, walau tidak sesejuk Puncak (Jabar), Malino (Sulsel), Banjarnegara (Jateng), dan Gunung Lawu (Magetan). Namun mirip Batu (Malang). Banyak orang mengusahakan penginapan dan akan rame menjelang sabtu-minggu.
Setelah asyik muter2 di Cangkringan, WidodoMartani dan sebagainya, solat dhuhur di salah satu masjid, kami lanjut ke Janti (Klaten) kawasan pemancingan ikan.
Kami mengira jarak Jogja - Janti cumak 10-15 km, ternyata hampir 70 km sodara-sodara...Pantesan nggak nyampe2. Daerah Janti yang saya lihat banyak sumber air (umbul) sehingga tak heran kalo banyak muncul bisnis pemancingan, pembenihan dan pembesaran ikan konsumsi: ada nila, mas, gurame, dan bawal.
Dari penerawangan saya pake Google Earth, Janti terlihat kotak-kotak dikelilingi sawah, dimana kota-kotak itu adalah area budidaya perikanan yang diusahakan penduduk. Disini setidaknya ada dua lembaga yang mengusahakan pembenihan ikan, pertama dinas perikanan dan yang kedua swasta.
Pasarnya jelas, untuk pemancingan. saya yakin pasa lokal pemancingan memberikan keuntungan optimal dibanding harus supply ikan ke daerah lain. Hal ini dapat dipahami karena ikan hasil pancing jauh lebih mahal daripada sekali panen harus jual ke pedagang grosiran dengan harga murah.
Namun pasar untuk pemancingan juga tidak stabil sepanjang musim. Kadang rame dan sering sepi. Nah kalok sudah gini usaha perikanan jadi runyam, karena harus melempar hasil usaha budidaya segera ke luar. Akibatnya menjadi rumit karena bila tidak siap, hasil panen berharga murah.
Sengaja saya datang di saat musim banyak air (penghujan), nanti bila musim kering tiba, saya akan survey kembali. Ini untuk memastikan ketersediaan air di dua musim yang sekarang tak dapat diprediksi secara tepat datangmya.
Kami pulang sampai rumah pukul 20.00 wib. Saya langsung terkapar, tak beradaya, cos menempuh jarak hampir 200 km hari itu. Mana baru nyampe dari Jakarta, pagi tadi.
Hari kedua, saya menuju Joglo Tani Pak Theo. Saya di Jakarta dikasih lihat videonya by Pak Hery Setyarso. Joglo Pak Theo terletak di Sleman dekat Jogja, nggak nyampe jauh ke Kaliurang. Pak Theo menerima kedatangan kami. setelah sedikit share informasi pertanian, kami diajak ke farm kompos tak tauh dari Joglo Tani.
Lokasi farmnya terletak di tengah sawah, dibuat rumah sederhana tempat baca, belajar, dan terima tamu. Dibelakangnya ada kandak bebek bersebelahan dengan rumah kompos yang lagi di set up. Yang menarik rumah bebek ini bukan piaraan Pak Theo, tapi hasil praktek anak2 mahasiswa yg magang latihan kerja di Pak Theo. Gambar kandang bebek diatas adalah punya mahasiswa dari Aceh yg belajar di Rumah Bebek Pak Theo.
Yang saya catat dan agak menarik adalah ada plakat putih dari Rotary International baik di Joglo tani maupun di rumah bebek Pak Theo. Tampaknya ada bantuan asing yang sampai di Pak Theo dan dikelola dalam pembangunan Joglo Tani dan Rumah Bebeknya, artinya bukan swadaya masyarakat Sleman.
Walaupun keliatan sepele, bagi saya ini penting untuk melihat level kemandirian sebuah usaha. Iya dong. Saya hanya berhitung Pak Theo, dapat hasil darimana kalo hanya ngandalin Joglo Tani-nya saja yang 1000 meter persegi itu. Kata kawan saya, bisa jadi penghasilan utamanya justru adalah pelatihan. Hmm....benar juga, pikir saya.
Namun over all, apa yang dilakukan Pak Theo untuk memandirikan warga Sleman atas potensi lokal-nya patut mendapat apresiasi walaupun belum bersambut menjadi sebuah gerakan masip yang diikuti oleh semua petani Sleman.
Karena sorenya hujan, kami segera balik ke kamp kami di Bantul.
Hari ketiga, kami mengunjungi Kasongan dan silaturahmi dengan Sapto Nugroho Hadi. Kasongan adalah sentra industri keramik teramai di Jogja. Ada kawasan perajin di atas dan di deket kota atau jalan raya berderet toko-toko yang majang hasil karya perajin keramik. Menurut salah seorang perajin, tanahnya diambil agak jauh dari desa mereka, kalau dulu bahan baku tanah gampang di dapat di sekitar rumah mereka.
Saya senang dengan benda-benda seni, dan berharap di Jakarta nanti saya punya satu outlet yang majang benda seni dari kasongan ini. Wallahu 'Alam.
Siangnya kami silaturhami ke Sapto Nugroho Hadi, kawan lama satu kantor di Pachira Distrinusa yang setelah keluar kerja di Batam, dan kini ambil master mikrobiologi di UGM. Kami ketemu di kantin kampus dan solat bareng di mesjid kampus UGM.
Pak Sapto, begitu saya suka panggil, tetep berjenggot, malah makin lebat, dan tampak santai menerima kedatangan kami. Dia punya toko online di souvenir-nikahku.com. Toko itu jual aneka souvenir nikah asli kerajinan perak dari KotaGede.
Pak Sapto menjelaskan, bisnis di Jogja beda dengan kota lain, agak kurang customer dan harga harus murah. Mangkanya ceruk pasar dia adalah kota lain semisal Jakarta, atau bandung sepanjang internet dapat diakses mereka.
Setelah puas share dengan Pak Sapto, kami pulang. Dan inilah teman-teman yang mengantar saya survey di Jogja, Mas Ilham dan Mas Gondrong. Mas Ilham bagian tukang antar kemana saya pergi, berumur 40 tahun, single dan tangguh. Inilah orangnya:
Sedang Mas Gondrong, saya poto istananya saja yang tahun 2005 kena gempa dasyat Bantul. Mas Gondrong sukanya mancing, ibunya meninggal saat gempat dan dia belum nikah kendati sudah 39 tahun. Jomblo- wan, sejati. Maha Suci Allah untuk segera membuka hati agar segera nikah mengikuti sunnah Muhammad.
Komentar
Posting Komentar
Kalo Anda pengen diskusi lebih komprehensip, kirim ke email ini : sismulyanto@gmail.com