Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2010

DHANI

NAMA DHANI banyak; Dani temen saya waktu di MDS. Jatinegara Plaza 2, dia seorang sekurity. Dani, masih temen saya, dia seorang pedagang baju dipasar Pal Cimanggis, sebelumnya dia satu kantor dengan saya di Gudang Matahari Cimanggis. Dani lagi, adalah seorang HRD Manager di penerbitan Al-Kautsar yang kini mencoba membuat penerbitan sendiri di Bogor (Abu Hanivah Publishing). Mana Dhani yang saya maksud? Tak lain dan tak bukan Dhani adalah nama keponakan saya, anak kakak kandung saya satu-satunya : Anis Ismulyaningsih. Saya biasa panggil kakak saya dengan sebutan Mbak Ning. Dia tinggal di Kabat, sebuah dusun kecil di kecamatan yang nggak top di Banyuwangi. Tapi dari Kabat pulalah Bapak, Ibuk, Mbak Ning dan saya lahir. Mbak Ning menikah dengan Mas Mamiek, seorang drummer asal Waru-Sidoarjo, tahun....lupa saya, mungkin 1996, dua tahun menikah lahirlah Dhani. Yang memberi nama Dhani adalah ibu saya, lengkapnya Mardhani Muhammad Zikri Hidayatullah. Byuh-byuh abot tenan jenenge iki!!!

MENSIKAPI DATANGNYA MASA TUA

Setelah solat subuh di Mejid Al-Muqarrabin, pagi ini, 3 Muharam 1432 H atau 9 Desember 2010, saya buru-buru pulang. Apa pasal? Saya pengen buru-buru nulis di blog ini mumpung ingatan saya tentang materi kultum yang saya bawakan masih anget bin kebul-kebul. Heee..... Begitulah Pembaca Yang Budiman, saya barusan share pengetahuan dengan ngasih kultum di mesjid kali ketiga atau dalam 3 bulan terakhir ini. Seperti biasa materi saya kumpulin dari internet, Quran, beberapa hadist dan beberapa riwayat. Kebiasaan juga masih, saya mempersiapkannya jam 21.00 ampek 23.30 wib, terus siapin hape dengan irama alarm, biar nggak kelewat. Bahaya, kan? Inilah kira-kira isi ceramah itu: Assalamuaalaikum warrah matullahi wabaraktuh. إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِهَدُ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ ،َأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ

KULTUM KEDUA: SOLAT DI MAL

Pada kultum kedua kalinya ini, saya agak santai. Nggak seperti Kultum pertama yang harus mempersiapkan diri berhari-hari. Namun gara-gara terlalu santai, malam sebelum kultum, teks atau rancangan kultum malah belum ada. Paksa-ai begadangan sampek jam 12. Halah, malah menyiksa kalo gini caranya. Hehehe....Jangan ditiru ya penonton. Tetep saya siapkan alarm 2 hape untuk jaga-jaga, biar subuh nggak keliwatan. Benar saja, alarm bunyi jam 3.30. Wuih saya langsung mandi, tahajudan, hajat dan ngabur ke mesjid. Saya deketin Mas Supri abis tahiyatul masjid. "Giliran Pak Slamet, nih...", katanya. Saya manggut sambil berdoa. Gawat kan kalo salah jadwal. Hehehe....Setelah Pak Ilyas Rafi menyelesaikan wirid pendeknya, saya tampil. Assalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh. Alhamdulillahirabil alamin, wal akibatu lilmuttaqin. Fala ngudwana ila ala dholimin. Wa sholatu wa salamu ngala srofil ambiyai wal mursalin wa ala alihi wa sohbihi wa man tabiahum illa yaumiddin. Segala puj

KULTUM PERTAMA : MENJAGA PANDANGAN

BERHARI-hari saya mempersiapkan diri untuk tampil fenomenal dalam acara kuliah tujuh menit di Mesjid Al-Muqarrabin itu. Banyak kitab saya baca, banyak ayat saya analisis, dan banyak hadist saya lingkari. kemudian disortir sesuai dengan tema yang akan saya bawakan. Sehari sebelumnya saya udah setel alarm 2 hape agar tidak macet salah satunya sehingga bisa membangunkan saya tepat pada waktunya. "Kring....kring...kring....!!!" bunyi hape membangunkan saya pukul setengah 4. Berarti saya punya satu jam untuk mempersiapkan diri. Saya mandi lalu solah tahajud, hajat lalu terdengar adzan subuh yang dilantunkan oleh Mas Supri. Saya bergegas ke mesjid. Pendek kata, setelah solat subuh dipimpin oleh ustadz Nur Fadil, saya tampil. Assalamualaikum warrahmatullahi wabarrakatuh. Hamdaliraba Khasona bi Muhamadin wa ankodana min dulmatil jahli wa daya jirrin. Alhamdulillahil ladihadana bingabdihil muhtar. Man dangana ilaihi bil idni waqod nadana labaika ya mandangana wa khadana Sholal

Kontributor Kultum

Bismillahirarahmanirrahim, Hanya Dia yang menggerakkan ujung jari ini menulis hurup demi hurup untuk dibagikan ke tengah sidang pembaca yang budiman. Allah juga tujuan saya menghimpun dan merekap detik demi detik ketegangan saya di beberapa hari ini agar kelak bila anak-cucu saya membaca tulisan saya ini, ia turut "tegang" seperti yang dialami datuknya. Subahannallah. Pembaca yang budiman, Beberapa hari ini saya tegang bukan kepayang. Tidur tidak lelap, makan terburu-buru dan napas terengah-engah. Apa pasal gerangan? Tak lain dan tak bukan adalah nama saya masuk dalam daftar kontributor menjadi pemberi materi ceramah kultum (kuliah tujuh menit) di mesjid Muqarrabin, mesjid komplek dimana saya tinggal. bagi sebagian orang hal itu biasa, namun bagi pemilik nama Slamet Ismulyanto itu sangat luar biasa. Mengingat dia akan memberi kontribusi kultum dihadapan para solihin, tempat berkumpul orang saleh. Itu tak pernah terjadi sebelumnya, seumur hidupnya. Hanya Allah yang mem

JOGJA

Mana tulisan Jogja yang benar : Jogja, Jogya, Yokya, atau Yogja. Itulah. Karena saya suka ketegasan, maka saya pake Jogja untuk menuliskan kota Jogjakarta. Minggu lalu saya hampir 4 hari penuh keliling kota Gudeg ini. Wisata? Bukan. Lebih tepatnya survey. Mengapa survey? Karena saya udah bikin program harus segera persiapan get out dari kota penuh sesak: Jakarta. Salah satu kota inceran itu adalah Jogja. Perjalanan ini adalah kali ketiga saya mengunjungi kota ini, sebelumnya saya pernah singgah di tahun 1998 dan 2003 bareng istri. Kotanya "ayem' dan penduduknya ramah. Dari rumah saya diantar istri sampe stasiun UI Depok lalu meneruskan perjalanan pakai kereta ekspress Bogor-Jakarta turun di Gambir. Dari Gambir, saya naik Taksaka berangkat pukul 20.45 wib. Karena perjalanan malam hari, dus saya nggak bisa lihat pemandangan karena gelap. Akhirnya saya putusin memejamkan mata saja. Karena kereta eksekutip, maka jarak Jakarta-Jogja yang 518 km hanya ditempuh dalam wak

CINTA

Hari itu, Jumat 26 Pebruari 2010 adalah hari penuh cinta. Cinta manusia pada manusia. Tapi bukan cinta biasa. Karena yang dicinta juga bukan manusia biasa. Anda pasti sepaham dengan saya. Dialah manusia paling dicintai Illahi Robbi, Dzat paling sohor tanpa tandingan. Lha kalo Allah saja sangat mencintai manusia satu ini, lha mosok kita cuek bebek, Rek... Benar sahabat, dialah Kanjeng Nabi Muhammad, manusia paling mulia derajadnya di alam manapun. Dimanapun, kapanpun dan dalam situasi apapun dia kita sebut setiap kali. Allohuma soli ala (sayidina) Muhammad. Nama manusia yang paling sering disebut oleh manusia di belahan dunia manapun selain Ibrahim dan Ali. Terus terang, perkenalan saya dengan Kanjeng Nabi ini tidak jelas benar. ia mengalir begitu saja, manakala saya ingat, waktu saya ngaji di Langgar Tengah, Jalan Manggar, Kodya Blitar, Jawa Timur antara tahun 1977 - 1980. Umur saya waktu itu antara 9-11 tahun. Namanya juga anak kecil, baca dua kalimah sahadat, kata guru ng

HIRA YUSOPA

KANG HIRA. Begitu saya biasa memanggil namanya. Saya kenal pertama kira-kira tahun 2005. Waktu itu saya HRD & ADM Manager pada PT. Pachira Distrinusa di Kelapa Gading. Pertemuannya serba biasa. Dia mengantar Bu Meli, istrinya, tiap pagi dan kadang kami ketemu di bawah dekat ruang operator. Waktu Pak Mukhlis meminta saya untuk mencarikan tenaga salesman yang akan diperbantukan ke Area Sales Manager Bandung, Bu Meli iseng nanya: Pak kalo A-Hira boleh nggak coba daftar? Silakan, jawab saya singkat. Pendek cerita Kang Hira masuk. Setelah di kasih pembekalan oleh Pak Mukhlis (Managing Director), Pak Toro ( Deputy Chief GM), Pak OOk (Finance Director), dan HRD & ADM Mgr, pergilah dalam damai Kang Hira ke Bandung. Ia diperbantukan ke Pak Tritura Nugroho (ASM Bandung). Seiring bergulirnya waktu, sebelum lebaran 2005, Pak Mukhlis kasih sign ke saya untuk siap-siap rotasi ke Bandung sebagai ASM dan Pak Tri pindah ke Semarang. Benar saja. Saya abis lebaran 2005 ke Bandung ketemu d

AYAH

ADA seorang sahabat bercerita kalo ia deket banget dengan ayahnya. Apalagi sejak ayahnya sakit-sakitan. Ia merasa ayahnya sakit psikis larena banyak pikiran. Ayahnya ingin kembali ke tempat dimana ayahnya dilahirkan. Saya tidak tahu bagaimana pikiran wanita beroperasi, namun bila saya mendengar kisah-kisah tentang bagaimana "kangennya" laki-laki dengan suasana dimana dia dilahirkan, dan dibesarkan. Saya menjadi inget ayah saya. Nama ayah saya Samiari. Waktu ia muda, teman, bibi dan budenya biasa panggil Didik. Mangkanya setelah jadi TNI AD sekitar tahun 1963, lencana nama yang tertempel di dadanya tertulis D. SAMIARI. Kalo saya tanya D itu apa Pak? Didik, jawabnya singkat. Sejak ayah saya masih muda, ia terkenal ganteng, humoris dan ekstrovert. Temennya banyak. Hanya sayang 'cos orangtuanya banyak anak, Samiaji, Samiati, Samiadi, Samiari, Samiani, Samiasih, mangkanya bapak kalo mau makan harus nyari ke tetangga dulu. Dimana rumah tetangga ada kerjaan, baikin